Menurut Elizabeth B. Harlock, masa
kanak-kanak dibagi menjadi dua, yaitu:
1 1. Masa kanak-kanak awal yaitu dua tahun
sampai enam tahun.
2 2. Masa kanak-kanak akhir yaitu enam tahun
sampai sepuluh tahun atau sebelas tahun.
Masalah
perkembangan kecerdasan emosional pada anak sering kali diabaikan oleh para
orang tua, karena kurangnya pengetahuan para orang tua akan pentingnya EQ itu
sendiri yang menyebabkan mereka tidak terlalu memperhatikan atau bahkan
membiarkan saja dengan sendirinya perkembangan EQ itu terjadi.
Pengertian Emosionalitas (emosionaliteit) sendiri adalah
mudah atau tidaknya perasaan seseorang terpengaruh oleh suatu kesan. Sedangkan
perasaan adalah gejala psikis yang bersifat subyektif yang umumnya berhubungan
dengan gejala mengenal, pengalaman senang dan tidak senang dalam berbagai
taraf. Pada umumnya tingkat kecerdasan emosional (EQ) dapat terus ditingkatkan
seiring berjalannya waktu, berbeda dengan tingkat IQ atau kecerdasan
intelektual atau kecerdasan otak seseorang yang umumnya tetap. Namun tidak berarti anak yang terlahir jenius selalu
sukses. Hal itu tergantung dari bagaimana orangtuanya mendidik dan
mengembangkannya. Apalagi EQ, sangat tergantung dari situasi dan kondisi dimana
anak dibesarkan.
Peran orang di sekitar anak sangat
penting untuk perkembangan emosinya. Baik itu orangtua, guru, teman bermain
ataupun teman sekolahnya. Demikian pula lingkungan tempat anak itu tumbuh juga
penting. Bagi seorang anak, apabila orangtuanya tidak tanggap adalah sebuah tanda
bahaya bagi masa depannya. Karena pertumbuhan dan perkembangannya adalah
tanggung jawab orangtuanya, bukan hanya dirinya sendiri.

Pengertian
EQ (Emotional Quotient/Intellegent)
Istilah
kecerdasan emosi (emotional intelligence) diperkenalkan pada tahun 1990 oleh
dua ahli psikologi, yaitu Peter Salovery dan John Mayer. Kecerdasan emosi
mengacu ke kemampuan memahami dan menangani perasaan diri seseorang dan orang
lain. Menurut Supriadi Kecerdasan emosional (Emotional Intelligence) adalah
suatu dimensi kemampuan manusia yang
berupa keterampilan emosionil dan sosial yang kemudian membentuk karakter. Di
dalamnya terkandung kemampuan-kemampuan seperti kemampuan mengendalikan diri,
empati, motivasi, semangat, kesabaran, ketekunan, dan keterampilan sosial. Sedangkan
menurut pendapat Goleman kecerdasan emosi adalah kemampuan merasakan, memahami,
dan secara efektif menerapkan daya dan kepekaan emosi sebagai sumber energi,
informasi, koneksi dan pengaruh manusia. Berbeda dengan kecerdasan intelektual
(IQ), kecerdasan emosi (EQ) tidak tetap dan bisa berubah. IQ biasanya berasal
dari faktor genetika dan sulit diubah. Prof. Dr. Daniel Goleman, bapak
management modern di Amerika meneliti orang-orang yang berhasil dan melaporkan
hasil surveynya : “Mereka yang sukses dan berhasil, bukan mereka yang waktu
sekolah memiliki nilai rapor bagus, tetapi mereka yang aktif organisasi, banyak
bergaul dan temannya banyak. IQ hanya mempengaruhi 20% keberhasilan sedangkan
EQ dan SQ (ESQ) 80%”, IQ tentunya lebih banyak dibentuk di sekolah, tetapi EQ
dan SQ (ESQ) lebih banyak dibentuk oleh keluarga dan lingkungan. Karena itu,
orang tua tidak boleh merasa sudah bertanggung jawab dalam mendidik anak,
karena sudah membiayai sekolahnya, itu baru 20% dari bagian mendidik anak yang
hanya mempengaruhi 20% keberhasilannya.Terlebih
lagi orang tua perlu membangun komunikasi dengan anak-anak, waktu bersama
mereka, menanamkan nilai-nilai hidup, moral, tata krama, mengawasi pergaulan
mereka dan yang terutama, mengajari mereka ‘bergaul’ dengan Tuhan dengan doa
pribadi, saat teduh dan mengajak mereka beribadah sehingga terbentuk sikap
‘takut akan Tuhan’ sebagai fondasi ESQ yang paling kuat, memiliki kasih yang
merupakan SQ terbaik.
Seorang anak yang masih dalam tahap
perkembangan, EQ-nya masih labil. Namun, pada anak dengan lingkungan yang
‘aman’, niscaya EQ-nya akan tinggi. Seorang yang mudah marah namun tidak tampak
di permukaan berbeda dengan mereka yang marah frontal namun segera reda. Orang
yang mengalami gangguan emosi bisa menjadi seorang yang moody. Apabila dibiarkan naik-turun tak
terkendali, akan menjadi gangguan kejiwaan “bipolar”.
Aspek emosi mengalami perkembangan
yang signifikan pada periode anak. Seiring pertambahan usia kemampuan anak
untuk mengenali emosinya sendiri semakin berkembang. Anak-anak semakin
menyadari tentang perasaannya sendiri dan perasaan orang lain. Anak-anak juga
semakin mampu mengatur ekspresi emosi dalam situasi sosial dan mampu mereaksi
kondisi stres yang dialami orang lain.
Menurut Papalia et al (2004) pada usia 7 atau 8 tahun, rasa
malu dan kebanggaan, yang tergantung pada kesadaran terhadap akibat tindakan
mereka akan mempengaruhi pendapat mereka tentang diri mereka sendiri. pada
periode kanak-kanak lanjut, anak akan lebih empatis dan perilaku menolong
semakin berkembang. Anak-anak juga mulai belajar mengontrol emosi negatif.
Dan seorang anak yang menampilkan
kecerdasan emosi tinggi akan tampil yakin terhadap emosi yang dirasakan, mampu
mengungkapkan perasaannya dengan tepat, mampu mengenali emosi orang lain dan
menanggapinya secara baik. Anak yang memiliki kecerdasan emosi yang baik, akan
tampil hangat, simpatik, mudah bergaul, dan menyenangkan bagi orang lain.
Kecerdasan emosi seorang anak sangat terkait erat dengan gaya pengasuhan yang
dilakukan oleh orang tuanya sendiri.
Unsur-unsur Dalam
Kecerdasan Emosi Seseorang
Goleman menyatakan dalam bukunya
bahwa unsur emosi merupakan faktor yang turut berperan dalam kehidupan
seseorang termasuk seorang anak. Menurut Goleman, kecerdasan emosi mencakup
unsur-unsur berikut:
1. Kemampuan
Seseorang Mengenali Emosinya Sendiri
Korteks atau otak rasional memungkinkan seseorang mengenali
bermacam-macam emosi yang dialami. Kemampuan untuk mengenal bermacam-macam
emosi berkembang secara bertahap. Awalnya, anak masih mencapur adukan emosi
marah dengan kecewa menjadi satu. Secara bertahap, melalui interaksi dengan
orang tua dan orang lain di sekelilingnya. Kemampuan anak untuk memahami
perasaannya pun bertambah.
2. Kemampuan
Mengelola Suasana Hati
Pada usia dini, pengelolaan emosi masih banyak dipengaruhi oleh reflek
yang dibawa sejak lahir. Seiring dengan bertambahnya usia rasa takut berikut
pola emosi yang menyertai ketakutan yaitu rasa malu, kecanggungan,
kekhawatiran, dan kecemasan, semakin bisa diatasinya karena anak menyadari
bahwa tidak ada perlunya merasa takut. Pada gilirannya kemampuan anak dalam
mengendalikan emosi ini akan berpengaruh terhadap cara-cara anak
mengekspresikan perasaannya lewat kata – kata merupakan bagian vital dalam
tahap perkembangan kemampuan untuk mengekspresikan perasaan secara tepat.
3. Kemampuan
Memotivasi Diri Sendiri
Agar mampu mencapai tujuan, anak harus mampu memotivasi diri, artinya
anak harus memiliki ketekunan. Usia 6 – 10 tahun, anak mulai melihat bahwa
usaha hanyalah satu faktor saja dalam pencapaian suatu tujuan. Faktor lainnya
adalah kemampuan swadaya. Sebagia besar anak dalam tahap ini melihat bahwa ada
penyesuaian antara usaha dan hasil. Karenanya untuk mencapai sukses mereka
harus bekerja keras. Usia antara 10 – 12 tahun, anak mulai lebih bisa memahami
hubungan antara usaha dan kemampuan. Sejak saat ini anak sadar bahwa orang
dengan kemampuan yang kurang harus berusaha lebih keras dan orang dengan
kemampuan yang lebih besar hanya perlu mencurahkan usaha lebih sedikit. Kurang
kuatnya motivasi, mempengaruhi anak selama masa pertumbuhan mereka.
4. Kemampuan Mengendalikan
Nafsu
Seorang anak sering kali sulit untuk mengendalikan
nafsunya, baik berupa emosi maupun keinginan yang harus dipenuhi. Dalam hal ini
anak menjadi merasa egois, dan apa yang ia inginkan harus dicapai atau didapatkannya. Oleh karena itu peran orang tua dalam mengendalikan nafsu anak
harus lebih diperhatikan, karena apabila orang tua tidak memberikan pengarahan
yang baik kepada anak, anak tersebut bisa menjadi liar dalam artian nakal yang
sudah keluar dari batas wajar. Kenakalan tersebut nantinya dapat memicu
kenakalan-kenakalan lainnya dan berdampak tidak baik bagi anak itu sendiri. Orang tua dapat memberikan pengertian dengan cara-cara yang mudah dipahami
anak, contoh: mengajak anak ke suatu tempat anggota keluarga atau orang yang
tidak mampu, dan berikan gambaran terhadap keluarga tersebut sehingga rasa
empati anak dapat langsung tertuju kepada keluarga tersebut dan tidak lagi
menggunakan cara-cara yang tidak seharusnya untuk mendapatkan sesuatu,
sekaligus mengajarkan anak untuk saling berbagi terhadap sesama manusia.
5. Kemampuan Membangun
dan Mempertahankan Hubungan dengan Orang Lain
Agar terampil membina hubungan dengan orang lain, seseorang
harus mampu mengenal dan mengelola emosinya. Salah satu seni yang harus
dimiliki anak dalam membangun kemampuan membina hubungan dengan orang lain
adalah kemampuan untuk mengendalikan emosi orang lain. Mengapresiasi emosi
orang lain adalah kemampuan yang sama pentingnya, khususnya dalam mengembangkan
keintiman dan memberi arti dari suatu hubungan. Lebih penting menjadi pendengar
yang baik daripada menjadi pembicara yang pandai saat terjadi komunikasi
emosional. Kemampuan menangani emosi orang lain merupakan inti seni memelihara
hubungan dengan orang lain. Kemampuan ini memungkinkan seseorang membentuk
hubungan untuk menggerakan dan mengilhami orang lain, membina kedekatan
hubungan, meyakinkan dan mempengaruhi serta membuat orang lain merasa nyaman.
Anak yang mempunyai kemampuan mengendalikan emosi orang lain, dapat membuat
orang merasa senang, takut, segan, dan mau melakukan apa yang dia kehendaki.
Sebelum mampu menangani emosi orang lain, dibutuhkan kematangan dan
keterampilan emosional, yaitu manajemen diri dan empati.
Perkembangan
Emosi Anak Sesuai Tahapan Usia
1. Usia Infant (0-2
Tahun)
Sejak lahir, seorang individu sudah memiliki kemampuan
untuk merasakan dan memberi respon emosi dalam bentuk tertarik pada sesuatu,
merasa tertekan dan merasa jijik. Bayi sudah bisa memberikan senyuman sosial
sebagai bentuk ekspresi emosi, pada usia mulai 4-6 minggu. Emosi-emosi lain
berkembang secara bertahap dam ditunjukkan dengan semakin banyaknya respon
ketika anak berkembang seiring dengan waktu. Emosi marah, terkejut dan sedih
mulai muncul pada usia 3-4 bulan, dan anak mula bisa merasakan takut pada usia
antara 5-7 bulan. Rasa malu muncul pada usia 6-8 bulan, dan perasaan bersalah
baru muncul pada usia anak 2 tahun.
2. Usia Prasekolah
(2-6 Tahun)
Secara emosional, anak-anak prasekolah sudah bisa merasakan
cinta dan mempunyai kemampuan untuk menjadi anak yang penuh kasih sayang, baik
dan sangat menolong, dan pada saat bersamaan bisa juga sangat egois dan agresif.
Ketika anak-anak prasekolah ini memiliki orang tua/pengasuh yang penuh
kehangatan dan cinta serta merawat mereka dengan kasih sayang, mereka akan
menjadikan cinta sebagai landasan dari dunia mereka, dan bisa diajari untuk
peduli dan mau membantu atau menolong orang lain. Hal ini bisa dilakukan dengan
memberi contoh, membacakan cerita, melalui gambar, menyanyi, menari, bermain
drama, atau kegiatan-kegiatan kooperatif lainnya.
3.
Usia Sekolah (6-12 Tahun)
Perkembangan emosi anak usia
sekolah kurang lebih sama dengan anak usia prasekolah, namun karena kemampuan
kognitif mereka sudah lebih berkembang, hal ini memungkinkan mereka untuk bisa
mengekspresikan emosinya dengan lebih bervariasi, dan terkadang bisa
mengekspresikan secara bersamaan dua bentuk emosi yang berbeda dan bahkan
bertolak belakang.
Perkembangan kemampuan
kognitif mereka juga membuat anak-anak usia antara 6-8 tahun sudah mengetahui
bahwa orang lain bisa punya perasaan dan pikiran berbeda mengenai suatu hal.
Pada usia 8-10 tahun mereka bisa mengira-ngira apa yang orang lain pikir atau
rasakan. Dan pada usia 12 tahun keatas mereka sudah bisa menganalisa dan
mengevaluasi cara mereka merasakan atau memikirkan sesuatu, begitu juga orang
lain, dan mereka sudah mulai bisa merasakan bentuk empati yang lebih dalam.
Gangguan
Emosional Pada Anak
Terdapat
beberapa gangguan emosional pada masa kanak – kanak, antara lain beberapa tipe
masalah emosional pada anak, yaitu :
1) Kebrutalan atau
kebringasan
2) Gangguan
Kecemasan
3) Takut Sekolah
4) Kematangan Sekolah
5) Depresi pada masa
Kanak – kanak
Bentuk-bentuk
Ekspresi Emosi Anak
1. Amarah
2. Takut
3. Cemburu
4. Iri Hati
5. Gembira
6. Sedih
7. Kasih Sayang
Kiat atau Cara
untuk Mencerdaskan Emosi Anak
Apabila IQ diukur dengan melakukan
evaluasi atas berbagai aspek intelektual seperti konsentrasi, daya nalar, daya
abstraksi dan daya analisis sintesis. Seorang anak yang menampilkan kecerdasan
emosi tinggi akan tampil yakin terhadap emosi yang dirasakan, mampu
mengungkapkan perasaannya dengan tepat, mampu mengenali emosi orang lain dan
menanggapinya secara baik. Kecerdasan emosi diawali dengan adanya pengenalan
terhadap emosi, baik emosi yang dialami sendiri maupun yang dirasakan orang
lain. Sebagai anak yang pemikirannya masih berpusat pada diri sendiri,
kecerdasan emosi diawali dengan usaha untuk mengenali emosinya sendiri.
Proses ini
akan banyak dibantu oleh orang tua yang memiliki empati, yaitu bersedia
memahami emosi anak. Diatas telah dijelaskan bahwa emosi anak dipengaruhi oleh
gaya orangtua dalam mengasuh anaknya. Ada empat gaya pengasuhan, yaitu
mengabaikan emosi anak, menentang emosi, gaya serba boleh, dan gaya pencerdasan pencerahan emosi anak. Untuk
mengembangkan kecerdasan emosi anak ada beberapa langkah yang perlu dilakukan
orang tua :
1.
Menyadari dan memahami
emosi anak,
2.
Memandang emosi
sebagai peluang untuk menjadi akrab dan menjadi sahabat anak,
3.
Mendengarkan dengan
empati setiap masalah anak dan menjelaskan emosi anak,
4.
Membantu anak memahami
emosinya, serta
5.
Menetapkan aturan dan
membantu anak menyelesaikan masalah.
Kegiatan bermain sejumlah anak juga
diyakini oleh para ahli psikologi sebagai sarana efektif dan ampuh untuk
meningkatkan kecerdasan emosional anak. Jika anak sering menampilkan emosi yang
meledak – ledak, mudah marah, gampang curiga, suka mengancam, senang melakukan
bentrok fisik, tenggelam dalam kesedihan, sering merasa bersalah serta cemas
berkepanjangan, itu semua menunjukkan anak tersebut memiliki tingkat kecerdasan
emosi (EQ) yang rendah. Hal ini perlu diperhatikan para orang tua, karena
tingkat kemampuan (IQ) anak yang tinggi tidak ada artinya jika EQ-nya rendah.
Kesimpulan
Dari
pembahasan di atas dapat kita simpulkan bahwa kecerdasan emosi adalah kemampuan
seseorang untuk mengenali emosi diri sendiri, mengatur emosi untuk diolah
menjadi motivasi, merencanakan dan mencapai tujuan hidupnya. Sehingga penting
sekali bagi para orangtua untuk membantu anaknya dalam mencerdaskan kemampuan
emosionalnya, maka dengan begitu kecerdasan anak akan seimbang dan dapat
membantu dalam mewujudkan masa depannya yang cerah nantinya.
Perkembangan emosi anak juga
memiliki beberapa tahapan yaitu : Mengenal Emosi Diri, Mengelola dan
Mengekspresikan Diri, Memotivasi Diri Sendiri, Mengenali Emosi Orang Lain,
Membina Hubungan Sosial. Kemudian juga emosi sangat berperan terhadap proses
berpikir seorang anak, sehingga sebaiknya para orang tua dapat memberikan
pengarahan agar anak mampu mengatasi setiap masalah yang di hadapinya. Banyak
gangguan – gangguan emosional yang
terjadi pada seorang anak, hal itu juga dapat mempengaruhi kecerdasan emosi
anak itu sendiri.
Untuk mengembangkan kecerdasan emosi anak ada beberapa
langkah yang perlu dilakukan orang tua :
1.
Menyadari dan memahami
emosi anak,
2.
Memandang emosi
sebagai peluang untuk menjadi akrab dan menjadi sahabat anak,
3.
Mendengarkan dengan
empati setiap masalah anak dan menjelaskan emosi anak,
4.
Membantu anak memahami
emosinya, serta
5.
Menetapkan aturan dan
membantu anak menyelesaikan masalah.
DAFTAR PUSTAKA
Agustian, Ary Ginanjar. 2001. Rahasia Sukses Membangun Kecerdasan Emosi dan Spiritual ESQ: Emosional
Spiritual Quotient Berdasarkan 6 Rukun Iman dan 5 Rukun Islam.
Jakarta: Arga
Nuryanti, Lusi. 2008. Psikologi Anak. Jakarta: Indeks
Tidak ada komentar:
Posting Komentar