Translate

Rabu, 09 Oktober 2013

"Masalah-Masalah Pendidikan di Indonesia"

        
        Pada dasarnya begitu banyak masalah yang berkembang dalam sistem pendidikan di Indonesia, sehingga membuat kualitas pendidikan di Indonesia semakin rendah. Secara garis besar masalah pendidikan di Indonesia dapat dikelompokkan menjadi :

A. Masalah Pemerataan
    Masalah pemerataan terjadi karena kurang terorganisasinya koordinasi pemerintah pusat dengan pemerintah daerah, sehingga pemerataan pendidikan sulit dijangkau oleh semua kalangan hingga pelosok daerah. Pada dasarnya pemerintah pun telah mencanangkan UU Wajib belajar (bahwa sekolah itu harus) hingga 9-12 tahun lamanya atau setara dengan SMP-SMA/SMK.

Banyak faktor yang melatarbelakangi masalah pemerataan antara lain :
- Banyak orang tua (masyarakat pinggiran) kurang menyadari pentingnyya sekolah
- Motivasi peserta didik yang rendah akibat gizi rendah dan kemiskinan.
- BOS (Bantuan Operasional Sekolah) belum merata sehingga masih banyak sekolah negeri yang melakukan pungutan. Sehingga anak tidak sekolah karena tidak punya biaya.
- Sarana dan Prasarana yang kurang memadai sehingga kurangnya fasilitas untuk menunjang kegiatan belajar mengajar disuatu daerah terutama daerah terpencil.

Masalah Pemerataan dapat diatasi dengan :
- Menggalakan pembangunan sarana dan prasarana sekolah hingga ke pelosok daerah.
- Memberikan beasiswa kepada siswa-siswi yang berprestasi.
- Memberikan bantuan kepada siswa-siswi yang kurang mampu, sehingga tidak ada alasan untuk tidak bersekolah bagi siswa-siswi yang kurang mampu.
- Sistem sekolah pagi-sore.
- Sekolah Alternative Homeschooling.

B. Masalah Mutu
        Menurut survei Political and Economic Risk Consultant (PERC), kualitas pendidikan di Indonesia sangat rendah karna menduduki urutan 12 dari 12 negara di Asia. Hal ini membuktikan bahwa Indonesia memang memiliki daya saing yang rendah. Kualitas pendidikan di Indonesia saat ini memang sangat memprihatinkan, dari berbagai survei internasional indeks pengembangan manusia di Indonesia semakin menurun sehingga membuat kualitas sumber daya manusia Indonesia pun ikut menurun. Hal ini seharusnya mampu membuat Pemerintah lebih berfikir kritis terhadap peningkatan kualitas sumber daya manusia Indonesia, agar pada generasi selanjutnya Indonesia tidak ketinggalan dengan negara lain.

Faktor penyebab rendahnya mutu pendidikan di Indonesia, antara lain:
1. Rendahnya Kualitas Sarana Fisik
2. Rendahnya Kualitas Guru
3. Rendahnya Prestasi Siswa
4. Kurangnya Pemerataan Kesempatan Pendidikan
5. Rendahnya Relevansi Pendidikan dengan Kebutuhan
6. Mahalnya Biaya Pendidikan
7. Semakin Lemahnya Peran Negara dalam Sektor Pendidikan

Masalah mutu dapat diatasi dengan :
1. Peningkatan kualitas dan kuantitas sarana
2. Perbaikan Kurikulum
3. Peningkatan kualitas pendidik, dengan diterbitkannya UU RI No. 14 Tahun 2005
4. Peningkatan mutu akreditasi/ME/Sertifikasi Guru

C. Masalah Relevansi
         Relevansi artinya hubungan atau keterkaitan antara dunia kerja dan sekolah atau tidak bersifat link and match. Bagaimana masalah relevansi dilihat dari banyaknya lulusan dari satuan pendidikan tertentu yang tidak siap secara kognitif dan teknikal untuk melanjutkan pendidikan diatasnya atau ketidaksiapan lulusan untuk bekerja.

Penyebab Utamanya karena:
1. Kurikulum yang kurang praktis.
2. Tenaga kependidikan yang kurang membidangi.
3. Tidak ada usaha saling membahu antara pasar kerja dan sekolah.

Cara Mengatasi Masalah Relevansi, yaitu :
1. Ditingkatkannya peran sekolah kejuruan.
2. Diterapkannya kurikulum berbasis kompetensi (KTSP)
3. Difungsikannya manajemen berbasis sekolah (MBS)
 
D. Masalah Efektivitas
      Masalah ini sangat berjkaitan dengan kualitas atau mutu dari tenaga kependidikan. Hal ini disebabkan kurangnya kemampuan seorang tenaga pendidik dalam memberikan pembelajaran kepada peserta didik, sehingga dalam proses pembelajaran tidak memiliki tujuan yang jelas. Banyak pula guru atau pendidik yang mengajar tidak sesuai dengan latar belakangnya atau guru yang bukan keluaran LPTK sehingga guru tersebut kurang kompeten dalam memberikan suatu pembelajaran dan dianggap sebagai guru yang tidak professional.

Cara Mengatasi Masalah Efektivitas, yaitu :
1. Pembenahan cara rekrutment tenaga kependidikan
2. Ditingkatkannya nilai dan mutu sertifikasi guru

Kesimpulan
      Dari pembahasan diatas, dapat disimpulkan bahwa seharusnya pemerintah Indonesia dapat bergerak lebih cepat dalam proses pembenahan masalah-masalah pendidikan yang ada di Indonesia. Sehingga pada generasi selanjutnya Indonesia akan mengalami peningkatan sumber daya manusia yang lebih siap lagi untuk maju, serta mewujudkan tujuan negara Indonesia yaitu Mencerdaskan Kehidupan Bangsa Indonesia.

"Perkembangan Kecerdasan Emosional (EQ) Pada Masa Kanak-Kanak"

Latar Belakang
Menurut Elizabeth B. Harlock, masa kanak-kanak dibagi menjadi dua, yaitu:
1    1. Masa kanak-kanak awal yaitu dua tahun sampai enam tahun.
2    2.  Masa kanak-kanak akhir yaitu enam tahun sampai sepuluh tahun atau sebelas tahun.
Masalah perkembangan kecerdasan emosional pada anak sering kali diabaikan oleh para orang tua, karena kurangnya pengetahuan para orang tua akan pentingnya EQ itu sendiri yang menyebabkan mereka tidak terlalu memperhatikan atau bahkan membiarkan saja dengan sendirinya perkembangan EQ itu terjadi.
Pengertian Emosionalitas (emosionaliteit) sendiri adalah mudah atau tidaknya perasaan seseorang terpengaruh oleh suatu kesan. Sedangkan perasaan adalah gejala psikis yang bersifat subyektif yang umumnya berhubungan dengan gejala mengenal, pengalaman senang dan tidak senang dalam berbagai taraf. Pada umumnya tingkat kecerdasan emosional (EQ) dapat terus ditingkatkan seiring berjalannya waktu, berbeda dengan tingkat IQ atau kecerdasan intelektual atau kecerdasan otak seseorang yang umumnya tetap. Namun tidak berarti anak yang terlahir jenius selalu sukses. Hal itu tergantung dari bagaimana orangtuanya mendidik dan mengembangkannya. Apalagi EQ, sangat tergantung dari situasi dan kondisi dimana anak dibesarkan.
Peran orang di sekitar anak sangat penting untuk perkembangan emosinya. Baik itu orangtua, guru, teman bermain ataupun teman sekolahnya. Demikian pula lingkungan tempat anak itu tumbuh juga penting. Bagi seorang anak, apabila orangtuanya tidak tanggap adalah sebuah tanda bahaya bagi masa depannya. Karena pertumbuhan dan perkembangannya adalah tanggung jawab orangtuanya, bukan hanya dirinya sendiri.


Pengertian EQ (Emotional Quotient/Intellegent)
            Istilah kecerdasan emosi (emotional intelligence) diperkenalkan pada tahun 1990 oleh dua ahli psikologi, yaitu Peter Salovery dan John Mayer. Kecerdasan emosi mengacu ke kemampuan memahami dan menangani perasaan diri seseorang dan orang lain. Menurut Supriadi Kecerdasan emosional (Emotional Intelligence) adalah suatu dimensi kemampuan  manusia yang berupa keterampilan emosionil dan sosial yang kemudian membentuk karakter. Di dalamnya terkandung kemampuan-kemampuan seperti kemampuan mengendalikan diri, empati, motivasi, semangat, kesabaran, ketekunan, dan keterampilan sosial. Sedangkan menurut pendapat Goleman kecerdasan emosi adalah kemampuan merasakan, memahami, dan secara efektif menerapkan daya dan kepekaan emosi sebagai sumber energi, informasi, koneksi dan pengaruh manusia. Berbeda dengan kecerdasan intelektual (IQ), kecerdasan emosi (EQ) tidak tetap dan bisa berubah. IQ biasanya berasal dari faktor genetika dan sulit diubah. Prof. Dr. Daniel Goleman, bapak management modern di Amerika meneliti orang-orang yang berhasil dan melaporkan hasil surveynya : “Mereka yang sukses dan berhasil, bukan mereka yang waktu sekolah memiliki nilai rapor bagus, tetapi mereka yang aktif organisasi, banyak bergaul dan temannya banyak. IQ hanya mempengaruhi 20% keberhasilan sedangkan EQ dan SQ (ESQ) 80%”, IQ tentunya lebih banyak dibentuk di sekolah, tetapi EQ dan SQ (ESQ) lebih banyak dibentuk oleh keluarga dan lingkungan. Karena itu, orang tua tidak boleh merasa sudah bertanggung jawab dalam mendidik anak, karena sudah membiayai sekolahnya, itu baru 20% dari bagian mendidik anak yang hanya mempengaruhi 20% keberhasilannya.Terlebih lagi orang tua perlu membangun komunikasi dengan anak-anak, waktu bersama mereka, menanamkan nilai-nilai hidup, moral, tata krama, mengawasi pergaulan mereka dan yang terutama, mengajari mereka ‘bergaul’ dengan Tuhan dengan doa pribadi, saat teduh dan mengajak mereka beribadah sehingga terbentuk sikap ‘takut akan Tuhan’ sebagai fondasi ESQ yang paling kuat, memiliki kasih yang merupakan SQ terbaik. 
Seorang anak yang masih dalam tahap perkembangan, EQ-nya masih labil. Namun, pada anak dengan lingkungan yang ‘aman’, niscaya EQ-nya akan tinggi. Seorang yang mudah marah namun tidak tampak di permukaan berbeda dengan mereka yang marah frontal namun segera reda. Orang yang mengalami gangguan emosi bisa menjadi seorang yang moody. Apabila dibiarkan naik-turun tak terkendali, akan menjadi gangguan kejiwaan “bipolar”.
 Aspek emosi mengalami perkembangan yang signifikan pada periode anak. Seiring pertambahan usia kemampuan anak untuk mengenali emosinya sendiri semakin berkembang. Anak-anak semakin menyadari tentang perasaannya sendiri dan perasaan orang lain. Anak-anak juga semakin mampu mengatur ekspresi emosi dalam situasi sosial dan mampu mereaksi kondisi stres yang dialami orang lain.
Menurut Papalia et al (2004) pada usia 7 atau 8 tahun, rasa malu dan kebanggaan, yang tergantung pada kesadaran terhadap akibat tindakan mereka akan mempengaruhi pendapat mereka tentang diri mereka sendiri. pada periode kanak-kanak lanjut, anak akan lebih empatis dan perilaku menolong semakin berkembang. Anak-anak juga mulai belajar mengontrol emosi negatif.
Dan seorang anak yang menampilkan kecerdasan emosi tinggi akan tampil yakin terhadap emosi yang dirasakan, mampu mengungkapkan perasaannya dengan tepat, mampu mengenali emosi orang lain dan menanggapinya secara baik. Anak yang memiliki kecerdasan emosi yang baik, akan tampil hangat, simpatik, mudah bergaul, dan menyenangkan bagi orang lain. Kecerdasan emosi seorang anak sangat terkait erat dengan gaya pengasuhan yang dilakukan oleh orang tuanya sendiri.

Unsur-unsur Dalam Kecerdasan Emosi Seseorang
Goleman menyatakan dalam bukunya bahwa unsur emosi merupakan faktor yang turut berperan dalam kehidupan seseorang termasuk seorang anak. Menurut Goleman, kecerdasan emosi mencakup unsur-unsur berikut:
1.      Kemampuan Seseorang Mengenali Emosinya Sendiri
Korteks atau otak rasional memungkinkan seseorang mengenali bermacam-macam emosi yang dialami. Kemampuan untuk mengenal bermacam-macam emosi berkembang secara bertahap. Awalnya, anak masih mencapur adukan emosi marah dengan kecewa menjadi satu. Secara bertahap, melalui interaksi dengan orang tua dan orang lain di sekelilingnya. Kemampuan anak untuk memahami perasaannya pun bertambah.
2.   Kemampuan Mengelola Suasana Hati
Pada usia dini, pengelolaan emosi masih banyak dipengaruhi oleh reflek yang dibawa sejak lahir. Seiring dengan bertambahnya usia rasa takut berikut pola emosi yang menyertai ketakutan yaitu rasa malu, kecanggungan, kekhawatiran, dan kecemasan, semakin bisa diatasinya karena anak menyadari bahwa tidak ada perlunya merasa takut. Pada gilirannya kemampuan anak dalam mengendalikan emosi ini akan berpengaruh terhadap cara-cara anak mengekspresikan perasaannya lewat kata – kata merupakan bagian vital dalam tahap perkembangan kemampuan untuk mengekspresikan perasaan secara tepat. 
3.     Kemampuan Memotivasi Diri Sendiri
Agar mampu mencapai tujuan, anak harus mampu memotivasi diri, artinya anak harus memiliki ketekunan. Usia 6 – 10 tahun, anak mulai melihat bahwa usaha hanyalah satu faktor saja dalam pencapaian suatu tujuan. Faktor lainnya adalah kemampuan swadaya. Sebagia besar anak dalam tahap ini melihat bahwa ada penyesuaian antara usaha dan hasil. Karenanya untuk mencapai sukses mereka harus bekerja keras. Usia antara 10 – 12 tahun, anak mulai lebih bisa memahami hubungan antara usaha dan kemampuan. Sejak saat ini anak sadar bahwa orang dengan kemampuan yang kurang harus berusaha lebih keras dan orang dengan kemampuan yang lebih besar hanya perlu mencurahkan usaha lebih sedikit. Kurang kuatnya motivasi, mempengaruhi anak selama masa pertumbuhan mereka.
4.      Kemampuan Mengendalikan Nafsu 
                Seorang anak sering kali sulit untuk mengendalikan nafsunya, baik berupa emosi maupun keinginan yang harus dipenuhi. Dalam hal ini anak menjadi merasa egois, dan apa yang ia inginkan harus dicapai atau didapatkannya. Oleh karena itu peran orang tua dalam mengendalikan nafsu anak harus lebih diperhatikan, karena apabila orang tua tidak memberikan pengarahan yang baik kepada anak, anak tersebut bisa menjadi liar dalam artian nakal yang sudah keluar dari batas wajar. Kenakalan tersebut nantinya dapat memicu kenakalan-kenakalan lainnya dan berdampak tidak baik bagi anak itu sendiri. Orang tua dapat memberikan pengertian dengan cara-cara yang mudah dipahami anak, contoh: mengajak anak ke suatu tempat anggota keluarga atau orang yang tidak mampu, dan berikan gambaran terhadap keluarga tersebut sehingga rasa empati anak dapat langsung tertuju kepada keluarga tersebut dan tidak lagi menggunakan cara-cara yang tidak seharusnya untuk mendapatkan sesuatu, sekaligus mengajarkan anak untuk saling berbagi terhadap sesama manusia.
5.      Kemampuan Membangun dan Mempertahankan Hubungan dengan Orang Lain 
            Agar terampil membina hubungan dengan orang lain, seseorang harus mampu mengenal dan mengelola emosinya. Salah satu seni yang harus dimiliki anak dalam membangun kemampuan membina hubungan dengan orang lain adalah kemampuan untuk mengendalikan emosi orang lain. Mengapresiasi emosi orang lain adalah kemampuan yang sama pentingnya, khususnya dalam mengembangkan keintiman dan memberi arti dari suatu hubungan. Lebih penting menjadi pendengar yang baik daripada menjadi pembicara yang pandai saat terjadi komunikasi emosional. Kemampuan menangani emosi orang lain merupakan inti seni memelihara hubungan dengan orang lain. Kemampuan ini memungkinkan seseorang membentuk hubungan untuk menggerakan dan mengilhami orang lain, membina kedekatan hubungan, meyakinkan dan mempengaruhi serta membuat orang lain merasa nyaman. Anak yang mempunyai kemampuan mengendalikan emosi orang lain, dapat membuat orang merasa senang, takut, segan, dan mau melakukan apa yang dia kehendaki. Sebelum mampu menangani emosi orang lain, dibutuhkan kematangan dan keterampilan emosional, yaitu manajemen diri dan empati. 
Perkembangan Emosi Anak Sesuai Tahapan Usia
1.      Usia Infant (0-2 Tahun)
Sejak lahir, seorang individu sudah memiliki kemampuan untuk merasakan dan memberi respon emosi dalam bentuk tertarik pada sesuatu, merasa tertekan dan merasa jijik. Bayi sudah bisa memberikan senyuman sosial sebagai bentuk ekspresi emosi, pada usia mulai 4-6 minggu. Emosi-emosi lain berkembang secara bertahap dam ditunjukkan dengan semakin banyaknya respon ketika anak berkembang seiring dengan waktu. Emosi marah, terkejut dan sedih mulai muncul pada usia 3-4 bulan, dan anak mula bisa merasakan takut pada usia antara 5-7 bulan. Rasa malu muncul pada usia 6-8 bulan, dan perasaan bersalah baru muncul pada usia anak 2 tahun. 
2.      Usia Prasekolah (2-6 Tahun)
Secara emosional, anak-anak prasekolah sudah bisa merasakan cinta dan mempunyai kemampuan untuk menjadi anak yang penuh kasih sayang, baik dan sangat menolong, dan pada saat bersamaan bisa juga sangat egois dan agresif. Ketika anak-anak prasekolah ini memiliki orang tua/pengasuh yang penuh kehangatan dan cinta serta merawat mereka dengan kasih sayang, mereka akan menjadikan cinta sebagai landasan dari dunia mereka, dan bisa diajari untuk peduli dan mau membantu atau menolong orang lain. Hal ini bisa dilakukan dengan memberi contoh, membacakan cerita, melalui gambar, menyanyi, menari, bermain drama, atau kegiatan-kegiatan kooperatif lainnya. 
3.      Usia Sekolah (6-12 Tahun)
Perkembangan emosi anak usia sekolah kurang lebih sama dengan anak usia prasekolah, namun karena kemampuan kognitif mereka sudah lebih berkembang, hal ini memungkinkan mereka untuk bisa mengekspresikan emosinya dengan lebih bervariasi, dan terkadang bisa mengekspresikan secara bersamaan dua bentuk emosi yang berbeda dan bahkan bertolak belakang.
Perkembangan kemampuan kognitif mereka juga membuat anak-anak usia antara 6-8 tahun sudah mengetahui bahwa orang lain bisa punya perasaan dan pikiran berbeda mengenai suatu hal. Pada usia 8-10 tahun mereka bisa mengira-ngira apa yang orang lain pikir atau rasakan. Dan pada usia 12 tahun keatas mereka sudah bisa menganalisa dan mengevaluasi cara mereka merasakan atau memikirkan sesuatu, begitu juga orang lain, dan mereka sudah mulai bisa merasakan bentuk empati yang lebih dalam. 
                           
Gangguan Emosional Pada Anak
            Terdapat beberapa gangguan emosional pada masa kanak – kanak, antara lain beberapa tipe masalah emosional pada anak, yaitu :
1)      Kebrutalan atau kebringasan
2)      Gangguan Kecemasan
3)      Takut Sekolah
4)      Kematangan Sekolah 
5)      Depresi pada masa Kanak – kanak

Bentuk-bentuk Ekspresi Emosi Anak
        1. Amarah
       2. Takut
       3. Cemburu
       4. Iri Hati
       5. Gembira
       6. Sedih
       7. Kasih Sayang

Kiat atau Cara untuk Mencerdaskan Emosi Anak
Apabila IQ diukur dengan melakukan evaluasi atas berbagai aspek intelektual seperti konsentrasi, daya nalar, daya abstraksi dan daya analisis sintesis. Seorang anak yang menampilkan kecerdasan emosi tinggi akan tampil yakin terhadap emosi yang dirasakan, mampu mengungkapkan perasaannya dengan tepat, mampu mengenali emosi orang lain dan menanggapinya secara baik. Kecerdasan emosi diawali dengan adanya pengenalan terhadap emosi, baik emosi yang dialami sendiri maupun yang dirasakan orang lain. Sebagai anak yang pemikirannya masih berpusat pada diri sendiri, kecerdasan emosi diawali dengan usaha untuk mengenali emosinya sendiri.
Proses ini akan banyak dibantu oleh orang tua yang memiliki empati, yaitu bersedia memahami emosi anak. Diatas telah dijelaskan bahwa emosi anak dipengaruhi oleh gaya orangtua dalam mengasuh anaknya. Ada empat gaya pengasuhan, yaitu mengabaikan emosi anak, menentang emosi, gaya serba boleh, dan  gaya pencerdasan pencerahan emosi anak. Untuk mengembangkan kecerdasan emosi anak ada beberapa langkah yang perlu dilakukan orang tua :
1.      Menyadari dan memahami emosi anak,
2.      Memandang emosi sebagai peluang untuk menjadi akrab dan menjadi sahabat anak,
3.      Mendengarkan dengan empati setiap masalah anak dan menjelaskan emosi anak,
4.      Membantu anak memahami emosinya, serta
5.      Menetapkan aturan dan membantu anak menyelesaikan masalah. 
Kegiatan bermain sejumlah anak juga diyakini oleh para ahli psikologi sebagai sarana efektif dan ampuh untuk meningkatkan kecerdasan emosional anak. Jika anak sering menampilkan emosi yang meledak – ledak, mudah marah, gampang curiga, suka mengancam, senang melakukan bentrok fisik, tenggelam dalam kesedihan, sering merasa bersalah serta cemas berkepanjangan, itu semua menunjukkan anak tersebut memiliki tingkat kecerdasan emosi (EQ) yang rendah. Hal ini perlu diperhatikan para orang tua, karena tingkat kemampuan (IQ) anak yang tinggi tidak ada artinya jika EQ-nya rendah.

Kesimpulan
            Dari pembahasan di atas dapat kita simpulkan bahwa kecerdasan emosi adalah kemampuan seseorang untuk mengenali emosi diri sendiri, mengatur emosi untuk diolah menjadi motivasi, merencanakan dan mencapai tujuan hidupnya. Sehingga penting sekali bagi para orangtua untuk membantu anaknya dalam mencerdaskan kemampuan emosionalnya, maka dengan begitu kecerdasan anak akan seimbang dan dapat membantu dalam mewujudkan masa depannya yang cerah nantinya.
Perkembangan emosi anak juga memiliki beberapa tahapan yaitu : Mengenal Emosi Diri, Mengelola dan Mengekspresikan Diri, Memotivasi Diri Sendiri, Mengenali Emosi Orang Lain, Membina Hubungan Sosial. Kemudian juga emosi sangat berperan terhadap proses berpikir seorang anak, sehingga sebaiknya para orang tua dapat memberikan pengarahan agar anak mampu mengatasi setiap masalah yang di hadapinya. Banyak gangguan – gangguan  emosional yang terjadi pada seorang anak, hal itu juga dapat mempengaruhi kecerdasan emosi anak itu sendiri.
Untuk mengembangkan kecerdasan emosi anak ada beberapa langkah yang perlu dilakukan orang tua :
1.      Menyadari dan memahami emosi anak,
2.      Memandang emosi sebagai peluang untuk menjadi akrab dan menjadi sahabat anak,
3.      Mendengarkan dengan empati setiap masalah anak dan menjelaskan emosi anak,
4.      Membantu anak memahami emosinya, serta

5.      Menetapkan aturan dan membantu anak menyelesaikan masalah.



DAFTAR PUSTAKA

Agustian, Ary Ginanjar. 2001. Rahasia Sukses Membangun Kecerdasan Emosi dan Spiritual ESQ: Emosional Spiritual Quotient Berdasarkan 6 Rukun Iman dan 5 Rukun Islam. Jakarta:  Arga
Nuryanti, Lusi. 2008. Psikologi Anak. Jakarta: Indeks